2/11/2016
2:14 PM
BULAN
Duk... “Aw,”.
Aku sedikit meringis, pintu lemari ku yang atas jatuh tepat dikaki ku,
untungnya tidak sedikitpun
berdarah. Biasa lemari santri lama, sudah bisa dibilang reotlah. “Audy...!”.
“Seseorang
memanggilku.” Bisikku.
“Audy, dari
tadi ditungguin, ayo ustadzah Najdah udah nungguin kamu dari tadi.” Ucap Mona
dengan nada kesal.
“Oke,
sebentar.”Jawabku santai.
Yah
beginilah aku yang selalu santai dengan apapun, walau tak jarang aku menangis
tersedu-sedu akibat fatal dari sikap santaiku tersebut. Mona
adalah temanku yang selalu mau menerima kekuranganku, walau dia selalu
menampakkan kekesalannya. Ustadazah
Najdah adalah walikelasku. Beliau adalah ustadzah yang cantik, pintar, dan
baik. Tapi sayang, beliau sangat sibuk dengan urusan nya. Sehingga apapun perintah
dari beliau maka kelasku berusaha untuk selalu mengerjakannya.
Karena beliau sangat jarang berinteraksi dengan kami. Selain sibuk, ustadzah
Najdah juga punya penyakit yang kita semua tidak tahu, dan itu sering kambuh.
Yah tapi cerita ini bukan tentang ustadzah Najdah.
Tapi
cerita ini akan bercerita tentang temanku Mona. Dia anak yang pintar, rajin,
dan baik hati. Namun sayang, orang baik memang banyak yang iri. Cobaan datang
kepadanya silih berganti. Namun ia tidak
pernah berubah, tetap menjadi anak yang penuh semangat. Selain anak yang pintar
dan rajin, dia juga anak yang periang. Entah ada masalah ataupun
tidak, dia selalu terlihat baik-baik saja. Dia mengagumi sosok ustadzah yang
menurutku dia adalah seorang monster yang terdampar di bumi.
“Bagaimana
bisa, kamu kagum dengan ustadzah seperti beliau? memang apa bagusnya? apa yang
bisa di contoh darinya? suka marah-marah?” Suatu ketika aku sempat bertanya
kepadanya.
“Bagiku beliau
ustadzah yang disiplin, dan mempunyai kosekuensi tinggi.” Jawabnya dengan penuh
keyakinan.
“Bagiku beliau itu bukan disiplin, namun
beliau hanya resek. Sukanya mencari-cari kesalahan orang lain.” Bantahku pada
Mona.
“Bukan
mencari-cari kesalahan, tapi beliau sedang memberi tahu pada kita semua untuk
tidak meremehkan hal sekecil apapun, karena terkadang kesalahan kecil seseorang,
membuat orang lain bergerutu dalam hati, dan enggan untuk mengungkapnya.”
Jelasnya panjang lebar.
Oke aku tidak
mau berlama-lama membahas ustadzah Ainun, yah nama beliau ustadzah Ainun.
Ustadzah yang selalu mengejar-ngejarku dengan rentetan kesalahan yang menurutku
sangat sepele. Entahlah mengapa beliau terlalu menyanyangiku, “MUNGKIN”.
Menurut kabar
angin yang beredar, ustadzah Ainun sangat menyayangi Mona, padahal jika aku
perhatikan secara dalam, ustadzah Ainun menyayangi banyak santri. Bukan hanya
Mona. Tapi ustadzah Ainun tidak pernah mempermasalahkan ocehan santrinya.
Beliau tetap dingin dengan gosip itu, yah mungkin beliau juga menganggap itu
bukan hal yang penting. Suatu malam Mona datang ke kamar ustadzah Ainun, yah
biasa santri. Bercerita seputar kehidupannya. Waktu itu aku melihatnya
bercerita, tapi hanya dari kejauhan. Karena kebetulan aku sedang belajar di
lapangan depan gedung kamar ustadzah Ainun. Aku tak dapat mendengar percakapan
mereka, aku hanya melihat wajah ustadzah Ainun sangat serius mendengarkan
cerita Mona. Entah masalah apa yang sedang ia sampaikan. Setelah bosan belajar akupun pulang kekamarku. Ketika
aku masuk kamar, teman-teman kamarku sangat asyik bercerita. Dan kelihatannya
cerita yang sedang mereka bicarakan sangatlah menarik.
“Ngomongin
apaan sih serius banget?” Tanyaku menyela pembicaraan mereka.
“Ituloh Mona
teman mu, masak ia dia deketin ustadzah Ainun, biar menang lomba Miss Santriwati.”
Ani blak-blakan ke poin inti dari pembicaraan mereka.
“Kok bisa
kalian tahu?”
“Jelas banget,
tiap hari datang kekamar ustadzah Ainun, ngikutin gaya ustadzah Ainun, sok-sok
baik di depan ustadzah Ainun.”Jelas Mita panjang lebar.
“Bahkan ustadzah
Ainun pun tanpa sadar sudah mengakui
kemenangan Mona sebelum pertandingan selesai.”Jelas Sari.
“Emangnya
gimana ustadzah Ainun mengakui kemenangan Mona?, bukannya lomba Miss
Santriwatinya baru akan diadakan minggu depan?” Tanyaku
panjang lebar.
“Kemaren,
ustadzah Ainun bilang, rajing-rajin belajar dan berdo’a, ntar ngga jadi loh miss
kampusnya, gitu kata beliau.”Jelas Sari.
“Terus
kenapa dia tadi kekamar ustadzah Ainun?” Tanyaku yang semakin penasaran.
“Kalo itu
sih ngga tau, mungkin ngadu”. Mita menimpali.
“Ngadu ?
emangnya berita ini sudah menjadi tranding topik yah?”
“Ya Ampuuuuunnn
Audyy...!!!, kamu kemana aja sih?? Ini berita dah nyebar sampai ke marauke tauuuu!!!”
Keesokan
harinya, kami mendapatkan kabar jika Mona izin pulang kerumah. Dikarenakan kakak
laki-laki Mona, lebih tepatnya kembaran Mona meninggal dunia. Walau kami tak
mengenal kakak laki-lakinya, tapi kami sering mendengar Mona menceritakan sosok
almarhum yang sangat tegar melawan penyakit yang dengan ganas menggerogoti
hatinya selama dua tahun terakhir ini. Almarhum banyak menulis puisi dan tidak
sedikit karya-karyanya ada di majalah, koran, buku, bahkan menjadi katagori
puisi terbaik tingkat nasional. Aku yakin Mona pasti sangat merasa kehilangan
sosok kakak laki-lakinya yang selalu mengingatkannya untuk tetap semangat dan
bersyukur dalam menjalani kehidupan. Menurut ustadzah Ainun, Mona sudah
mempunyai firasat melalui mimpinya bahwa kakak laki-lakinya itu akan segera
menghadap Ilahi. Setelah dua hari dirumah Mona pun kembali kepondok. Tak
terlihat kesedihan disetiap detail wajahnya. Akupun memberanikan untuk
bertanya.
“Mon, maaf yah.
Kok kamu terlihat seperti biasa betapa cepatnya lukamu sembuh? aku salut banget
sama kamu”
“Ehm semua ini
berkat almarhum yang selalu bilang, jangan pernah patah semangat karena
kehilangan, karena masih banyak kehilangan-kehilangan lainnya yang belum kita
temui. Ustadzah Ainun pun pernah bilangkan, Patah satu tumbuh seribu.”
Tapi, terlihat
goresan perih di sunggingan senyumnya. Singkat cerita, pemilihan Miss Kampuspun
di mulai, semua santri antusias mengikuti penyeleksiannya. Kecuali aku, yah
aku. Karena aku berada sangat dekat dengan Mona, dan aku meilihat betapa
kerasnya ia berjuang sehingga membuatku pesimis, dan aku yakin Monalah yang
akan terpilih sebagai Miss Kampus. Satu minggupun terlewati, sampailah tahap
terakhir penyeleksian, yah memang benar dugaanku, Monalah Miss Kampus tahun
ini. Tapi, isu yang dulu sempat memenuhi udara di Pondok kamipun hilang,
entahlah.
“Mon, selamat
yah.” Ucapku
“Makasih Dy.”Sahutnya
lesu.
“Kenapa kok
mukamu, kusut kayak baju yang belum disetrika?”
“Ehm, ga kenapa-kenapa,
Dy Cuma lagi sedih aja, kenapa yah Ustadzah Ainun, dua hari terakhir ini klo
ketemu aku pasti buang muka bahkan ketika pemilihan Miss kampus beliau ngga’
foto sama aku.”
“Masak sih?
kamu kan santri kesayangannya”
“Kata siapa ?
Mona santri kesayangan Ustadzah Ainun, itu cuma fiktif belaka.”
“Ngga’ gitu
juga, kayak film FTV aja fiktif belaka, ustadzah ainun itu orangnya loyal, sama
siapa aja beliau bisa, ustadzah Ainun tipikal orang yang tak pilih kasih”
“Dy, tau ga ?
Cuma kamu loh orang yang bilang ustadzah ainun itu ga pilih-pilih, kebanyakan
orang selalu bilang klo ustadzah Ainun cuma baik sama aku, padahal mereka juga
sering dibaikin sama ustadzah Ainun, tapi mereka aja yang ga ngerasa dan ga
sadar”
“Ehm, aku tahu
itu dari dulu, sebenernya teman-teman itu bukan sebel sama ustadzah Ainun, cuma
iri aja sama kamu, yang bisa deket sama ustadzah Ainun.”
“Ehm, asal
mereka tahu aku selalu dimarahin sama ustadzah Ainun klo lagi curhat sama
beliau.”
“Ehm, tapi
marahnya beliau itu pasti penuh dengan kata-kata mutiara kan?”
“Pastinya, yang
buat aku ketagihan dimarahin sama beliau. Tapi, sekarang ustadzah Ainun
benar-benar tidak peduli lagi sama aku jangankan menjawab salam, bertemu
denganku saja beliau buang muka”
“Bukan, ga
peduli mungkin, ustadzah Ainun mungkin lagi banyak masalah, atau kerjaan, atau
banyak fikiran”
“Iya, juga sih.
Kita kan ngga tahu seutuhnya tentang kehidupan beliau”
Jum’at, (Subuh) 24 Febuari 2010.
Pagi itu tak ada yang istimewa, ataupun janggal. Semua terlihat biasa saja, yah
BIASA SAJA. Ada sekitar lima menit kami menunggu kiayi kami, namun kiayi kami
tak kunjung datang, akhirnya ustadzah Ainun yang mengimami subuh kami. Setelah
sholat subuh, yah biasa kami membaca Asma Ul Husnah. Ditengah-tengah bacaan
kami, tiba-tiba Ampli mik mushallah meledak, dan menciptakan percikan api.
Ustadzah Ainun langsung jatuh pingsan, keadaan menjadi panik, beberapa kelas
lima bagian pengajaran langsung menggerakkan beberapa santri untuk mengambil
air, guna menyiram percikan api yang mulai melahap bagian mushallah. Ustadzah
Ainun tak sadarkan diri, wajahnya pucat pasih, bibirnya tersenyum tipis, tangan
dan kakinya sangat dingin. Kamipun panik, dan dua orang kelas lima datang
kekamar ustadzah bagian pengasuhan dan melaporkan apa yang terjadi di
Mushallah. Beberapa menit kemudian, mobil Livina hitam menjemput ustadzah Ainun
yang sudah lemas terkulai dan melaju kencang menuju rumah sakit.
Tepat pukul 09.00 wib, mobil Livina
hitam memasuki gerbang Pondok kami. Kamipun harap-harap cemas, berharap tak
terjadi apa-apa dengan ustadzah Ainun. Beberapa menit, setelah mobil Livina
hitam parkir didepan rumah Kiayi kami, Ustadzah pengasuhan berekeliling Pondok
dengan klakson yang mendesak kami untuk segera pergi ketempat yang beliau
maksud.
“Tiiiiiiiii.......nnnnn”
“Cepat, cepat,
berangkat kemushallah semua !!!”
Hati kami berdebar, mendengar
perintah ustadzah pengasuhan yang diringin suara klakson, dan lantunan surat
yasin yang sendu. Kami bergegas menuju mushallah. Langkah kami terhenti untuk mendengarkan pengumuman.
“Inna lillahi
wa Inna lillahi rooji’un, telah berpulang kerahmatullah ustadzah tercinta
al-ustadzah Ainun Qomariah, semoga amal ibadahnya diterimah disisi Allah SWT,
dan diharapkan kepada seluruh santri untuk mengikuti shalat jenazah di
mushallah setelah pengumuman ini tepat”.
Aku melihat
awan mendung yang mulai menyelinap di kornea mata Mona, jangankan Mona aku saja
santri yang sering mendapatkan hukuman dari beliau sangat merasa kehilangan,
apalagi Mona yang sudah menjadikan beliau sebagai penyemangat untuk selalu
berbuat kebaikan. Aku dan Mona mengambil shaaf paling depan, tangis Mona
semakin menjadi akupun merasakan kehilangan itu, apalagi ketika melihat jenazah
ustadzah Ainun yang tersenyum tepat di depan kami.
“Mona, udahan
yah.”Aku memcoba membujuk Mona walau air mataku pun tak bisa berhenti.
Mona tak
bergeming, tangisnya semakin jadi. Setelah melakukan sholat jenazah, kamipun
mengantarkan jenazah beliau ketempat persinggahan terakhirnya. Setelah
pemakaman, walau tangis Mona belum berhenti kami tetap beranjak pulang menuju
asrama. Tiba-tiba langkah kami terhenti.
“Mona...”
Ustadzah May menghapiri kami.
“Iya ustadzah.”
Mona menjawab lesu.
“Tadi malam
ustadzah Ainun, sempat ngeprint surat buat kamu, katanya sih mau beliau kasih
ketika perpulangan, nanti datang yah kekamar ustadzah”
“Iyah ustadzah
!!??”
“Iya Mona.”
“Iya ustadzah
nanti Mona kekamar ustadzah.”
Sore harinya
kami berangkat menuju kamar ustadzah May. Ustadzah May memberikan kertas HVS
berwarna kuning kepada Mona.
“Ustadzah kami
boleh nanya?” Aku memulai.
“Iya kenapa
Audy?”
“Sebelum
ustadzah Ainun meninggal, ustadzah Ainun lagi ada masalah yah ?”
“Kenapa kok
nanya begitu?”
“Ehmm, beberapa
hari yang lalu kami lihat muka ustadzah Ainun sedikit muram.”
“Ehm, tiga hari
yang lalu ustadzah Ainun bermimpi, beliau melihat kamu pergi dengan pakaian
serba hitam sambil menangis sesugakan. Ustadzah Ainun takut terjadi apa-apa
denganmu Mona.”
Aku dan Mona
diam seribu bahasa, tak bergeming.
“Ustadzah
Ainun, punya keinginan yang besar terhadap teman-temanmu yang nakal itu seperti
kamu Audy, Fira, Wita, dan Giatri. Beliau sangat ingin merangkul mereka,
menjadikan mereka anak-anak yang berprestasi.” Ustadzah May melanjutkan.
“Ya ustadzah,
terimakasih kami pulang dulu yah ustadzah.” Kamipun berpamitan.
Kami menyusuri
jalan dengan membisu. Entah apa yang difikirkan Mona. Yang jelas aku sangat
memikirkan apa yang barusan ustadzah May ceritakan kepada kami, tentang
keinginan almarhumah. Sesampainya dikamar Mona, langsung membuka surat dari Almarhumah.
Assalamualaikum...
Mona, Mabruk sudah terpilih menjadi Miss Kampus tahun ini. Ustadzahpun
ikut senang, maaf ustadzah tidak bisa ikut foto malam itu. Ustadzah malam itu
kebetulan sakit perut. Jadi, ustadzah ga bisa foto dengan Mona. Jadi anak yang rajin dalam mengerjakan
kebaikan, jangan pernah bosan untuk berusaha menjadi anak yang baik. Di jaga
yah hafalan suratnya, sering-sering di ulang. Jangan pernah goyah, untuk selalu
berjuang menjadi yang terbaik. Ingat ! Pelaut yang hebat, tidak berlayar di
laut yang tenang. Salam ustadzah yah buat Audy, Fira, Wita, dan Giatri. Bilang
pesan ustadzah tadi yah.
Good luck!
Wassalamualakum.
Kepergian
ustadzah Ainun bukanlah akhir dari segalanya. Hidup harus tetap berjalan,
keadaan pasti berubah. Nasihat dari ustadzah Ainun harus dijaga. Untuk tetap
tidak bosan berjuang menjadi yang terbaik. Seperti nasihat ibunda Pondok kami
tercinta, SEBESAR KE INSYAFANMU, SEBESAR ITU PULA KEBERUNTUNGANMU. Kini
ustadzah Ainun hanya bisa kita gambarkan sebagai bulan. Yang jauh, namun tetap
ada walau terkadang ia tak tampak. Selamat jalan ustadzah Ainun, semoga
surgalah tempatmu beristirahat dari kenakalan-kenakalan kami. Amin.
TAMAT
Nee