Senin, 30 Mei 2016

Bulan gontorputri7


2/11/2016 2:14 PM
BULAN
Duk... “Aw,”. Aku sedikit meringis, pintu lemari ku yang atas jatuh tepat dikaki ku, untungnya tidak sedikitpun berdarah. Biasa lemari santri lama, sudah bisa dibilang reotlah. “Audy...!”.
“Seseorang memanggilku.” Bisikku.
“Audy, dari tadi ditungguin, ayo ustadzah Najdah udah nungguin kamu dari tadi.” Ucap Mona dengan nada kesal.
“Oke, sebentar.”Jawabku santai.
Yah beginilah aku yang selalu santai dengan apapun, walau tak jarang aku menangis tersedu-sedu akibat fatal dari sikap santaiku tersebut. Mona adalah temanku yang selalu mau menerima kekuranganku, walau dia selalu menampakkan kekesalannya. Ustadazah Najdah adalah walikelasku. Beliau adalah ustadzah yang cantik, pintar, dan baik. Tapi sayang, beliau sangat sibuk dengan urusan nya. Sehingga apapun perintah dari beliau maka kelasku berusaha untuk selalu mengerjakannya. Karena beliau sangat jarang berinteraksi dengan kami. Selain sibuk, ustadzah Najdah juga punya penyakit yang kita semua tidak tahu, dan itu sering kambuh. Yah tapi cerita ini bukan tentang ustadzah Najdah.
Tapi cerita ini akan bercerita tentang temanku Mona. Dia anak yang pintar, rajin, dan baik hati. Namun sayang, orang baik memang banyak yang iri. Cobaan datang kepadanya silih berganti. Namun ia tidak pernah berubah, tetap menjadi anak yang penuh semangat. Selain anak yang pintar dan rajin, dia juga anak yang periang. Entah ada masalah ataupun tidak, dia selalu terlihat baik-baik saja. Dia mengagumi sosok ustadzah yang menurutku dia adalah seorang monster yang terdampar di bumi.
“Bagaimana bisa, kamu kagum dengan ustadzah seperti beliau? memang apa bagusnya? apa yang bisa di contoh darinya? suka marah-marah?” Suatu ketika aku sempat bertanya kepadanya.
“Bagiku beliau ustadzah yang disiplin, dan mempunyai kosekuensi tinggi.” Jawabnya dengan penuh keyakinan.
 “Bagiku beliau itu bukan disiplin, namun beliau hanya resek. Sukanya mencari-cari kesalahan orang lain.” Bantahku pada Mona.
“Bukan mencari-cari kesalahan, tapi beliau sedang memberi tahu pada kita semua untuk tidak meremehkan hal sekecil apapun, karena terkadang kesalahan kecil seseorang, membuat orang lain bergerutu dalam hati, dan enggan untuk mengungkapnya.” Jelasnya panjang lebar.
Oke aku tidak mau berlama-lama membahas ustadzah Ainun, yah nama beliau ustadzah Ainun. Ustadzah yang selalu mengejar-ngejarku dengan rentetan kesalahan yang menurutku sangat sepele. Entahlah mengapa beliau terlalu menyanyangiku, MUNGKIN”.
Menurut kabar angin yang beredar, ustadzah Ainun sangat menyayangi Mona, padahal jika aku perhatikan secara dalam, ustadzah Ainun menyayangi banyak santri. Bukan hanya Mona. Tapi ustadzah Ainun tidak pernah mempermasalahkan ocehan santrinya. Beliau tetap dingin dengan gosip itu, yah mungkin beliau juga menganggap itu bukan hal yang penting. Suatu malam Mona datang ke kamar ustadzah Ainun, yah biasa santri. Bercerita seputar kehidupannya. Waktu itu aku melihatnya bercerita, tapi hanya dari kejauhan. Karena kebetulan aku sedang belajar di lapangan depan gedung kamar ustadzah Ainun. Aku tak dapat mendengar percakapan mereka, aku hanya melihat wajah ustadzah Ainun sangat serius mendengarkan cerita Mona. Entah masalah apa yang sedang ia sampaikan. Setelah  bosan belajar akupun pulang kekamarku. Ketika aku masuk kamar, teman-teman kamarku sangat asyik bercerita. Dan kelihatannya cerita yang sedang mereka bicarakan sangatlah menarik.
“Ngomongin apaan sih serius banget?” Tanyaku menyela pembicaraan mereka.
“Ituloh Mona teman mu, masak ia dia deketin ustadzah Ainun, biar menang lomba Miss Santriwati.” Ani blak-blakan ke poin inti dari pembicaraan mereka.
“Kok bisa kalian tahu?”
“Jelas banget, tiap hari datang kekamar ustadzah Ainun, ngikutin gaya ustadzah Ainun, sok-sok baik di depan ustadzah Ainun.”Jelas Mita panjang lebar.
“Bahkan ustadzah Ainun pun tanpa sadar sudah mengakui kemenangan Mona sebelum pertandingan selesai.”Jelas Sari.
“Emangnya gimana ustadzah Ainun mengakui kemenangan Mona?, bukannya lomba Miss Santriwatinya baru akan diadakan minggu depan?” Tanyaku panjang lebar.
“Kemaren, ustadzah Ainun bilang, rajing-rajin belajar dan berdo’a, ntar ngga jadi loh miss kampusnya, gitu kata beliau.”Jelas Sari.
“Terus kenapa dia tadi kekamar ustadzah Ainun?” Tanyaku yang semakin penasaran.
“Kalo itu sih ngga tau, mungkin ngadu”. Mita menimpali.
“Ngadu ? emangnya berita ini sudah menjadi tranding topik yah?”
“Ya Ampuuuuunnn Audyy...!!!, kamu kemana aja sih?? Ini berita dah nyebar sampai ke marauke  tauuuu!!!” 
Keesokan harinya, kami mendapatkan kabar jika Mona izin pulang kerumah. Dikarenakan kakak laki-laki Mona, lebih tepatnya kembaran Mona meninggal dunia. Walau kami tak mengenal kakak laki-lakinya, tapi kami sering mendengar Mona menceritakan sosok almarhum yang sangat tegar melawan penyakit yang dengan ganas menggerogoti hatinya selama dua tahun terakhir ini. Almarhum banyak menulis puisi dan tidak sedikit karya-karyanya ada di majalah, koran, buku, bahkan menjadi katagori puisi terbaik tingkat nasional. Aku yakin Mona pasti sangat merasa kehilangan sosok kakak laki-lakinya yang selalu mengingatkannya untuk tetap semangat dan bersyukur dalam menjalani kehidupan. Menurut ustadzah Ainun, Mona sudah mempunyai firasat melalui mimpinya bahwa kakak laki-lakinya itu akan segera menghadap Ilahi. Setelah dua hari dirumah Mona pun kembali kepondok. Tak terlihat kesedihan disetiap detail wajahnya. Akupun memberanikan untuk bertanya.
“Mon, maaf yah. Kok kamu terlihat seperti biasa betapa cepatnya lukamu sembuh? aku salut banget sama kamu”
“Ehm semua ini berkat almarhum yang selalu bilang, jangan pernah patah semangat karena kehilangan, karena masih banyak kehilangan-kehilangan lainnya yang belum kita temui. Ustadzah Ainun pun pernah bilangkan, Patah satu tumbuh seribu.”
Tapi, terlihat goresan perih di sunggingan senyumnya. Singkat cerita, pemilihan Miss Kampuspun di mulai, semua santri antusias mengikuti penyeleksiannya. Kecuali aku, yah aku. Karena aku berada sangat dekat dengan Mona, dan aku meilihat betapa kerasnya ia berjuang sehingga membuatku pesimis, dan aku yakin Monalah yang akan terpilih sebagai Miss Kampus. Satu minggupun terlewati, sampailah tahap terakhir penyeleksian, yah memang benar dugaanku, Monalah Miss Kampus tahun ini. Tapi, isu yang dulu sempat memenuhi udara di Pondok kamipun hilang, entahlah.
“Mon, selamat yah.” Ucapku
“Makasih Dy.”Sahutnya lesu.
“Kenapa kok mukamu, kusut kayak baju yang belum disetrika?”
“Ehm, ga kenapa-kenapa, Dy Cuma lagi sedih aja, kenapa yah Ustadzah Ainun, dua hari terakhir ini klo ketemu aku pasti buang muka bahkan ketika pemilihan Miss kampus beliau ngga’ foto sama aku.”
“Masak sih? kamu kan santri kesayangannya”
“Kata siapa ? Mona santri kesayangan Ustadzah Ainun, itu cuma fiktif belaka.”
“Ngga’ gitu juga, kayak film FTV aja fiktif belaka, ustadzah ainun itu orangnya loyal, sama siapa aja beliau bisa, ustadzah Ainun tipikal orang yang tak pilih kasih”
“Dy, tau ga ? Cuma kamu loh orang yang bilang ustadzah ainun itu ga pilih-pilih, kebanyakan orang selalu bilang klo ustadzah Ainun cuma baik sama aku, padahal mereka juga sering dibaikin sama ustadzah Ainun, tapi mereka aja yang ga ngerasa dan ga sadar”
“Ehm, aku tahu itu dari dulu, sebenernya teman-teman itu bukan sebel sama ustadzah Ainun, cuma iri aja sama kamu, yang bisa deket sama ustadzah Ainun.”
“Ehm, asal mereka tahu aku selalu dimarahin sama ustadzah Ainun klo lagi curhat sama beliau.”
“Ehm, tapi marahnya beliau itu pasti penuh dengan kata-kata mutiara kan?”
“Pastinya, yang buat aku ketagihan dimarahin sama beliau. Tapi, sekarang ustadzah Ainun benar-benar tidak peduli lagi sama aku jangankan menjawab salam, bertemu denganku saja beliau buang muka”
“Bukan, ga peduli mungkin, ustadzah Ainun mungkin lagi banyak masalah, atau kerjaan, atau banyak fikiran”
“Iya, juga sih. Kita kan ngga tahu seutuhnya tentang kehidupan beliau”
            Jum’at, (Subuh) 24 Febuari 2010. Pagi itu tak ada yang istimewa, ataupun janggal. Semua terlihat biasa saja, yah BIASA SAJA. Ada sekitar lima menit kami menunggu kiayi kami, namun kiayi kami tak kunjung datang, akhirnya ustadzah Ainun yang mengimami subuh kami. Setelah sholat subuh, yah biasa kami membaca Asma Ul Husnah. Ditengah-tengah bacaan kami, tiba-tiba Ampli mik mushallah meledak, dan menciptakan percikan api. Ustadzah Ainun langsung jatuh pingsan, keadaan menjadi panik, beberapa kelas lima bagian pengajaran langsung menggerakkan beberapa santri untuk mengambil air, guna menyiram percikan api yang mulai melahap bagian mushallah. Ustadzah Ainun tak sadarkan diri, wajahnya pucat pasih, bibirnya tersenyum tipis, tangan dan kakinya sangat dingin. Kamipun panik, dan dua orang kelas lima datang kekamar ustadzah bagian pengasuhan dan melaporkan apa yang terjadi di Mushallah. Beberapa menit kemudian, mobil Livina hitam menjemput ustadzah Ainun yang sudah lemas terkulai dan melaju kencang menuju rumah sakit.
            Tepat pukul 09.00 wib, mobil Livina hitam memasuki gerbang Pondok kami. Kamipun harap-harap cemas, berharap tak terjadi apa-apa dengan ustadzah Ainun. Beberapa menit, setelah mobil Livina hitam parkir didepan rumah Kiayi kami, Ustadzah pengasuhan berekeliling Pondok dengan klakson yang mendesak kami untuk segera pergi ketempat yang beliau maksud.
“Tiiiiiiiii.......nnnnn”
“Cepat, cepat, berangkat kemushallah semua !!!”
            Hati kami berdebar, mendengar perintah ustadzah pengasuhan yang diringin suara klakson, dan lantunan surat yasin yang sendu. Kami bergegas menuju mushallah. Langkah kami terhenti untuk  mendengarkan pengumuman.
“Inna lillahi wa Inna lillahi rooji’un, telah berpulang kerahmatullah ustadzah tercinta al-ustadzah Ainun Qomariah, semoga amal ibadahnya diterimah disisi Allah SWT, dan diharapkan kepada seluruh santri untuk mengikuti shalat jenazah di mushallah setelah pengumuman ini tepat”.
Aku melihat awan mendung yang mulai menyelinap di kornea mata Mona, jangankan Mona aku saja santri yang sering mendapatkan hukuman dari beliau sangat merasa kehilangan, apalagi Mona yang sudah menjadikan beliau sebagai penyemangat untuk selalu berbuat kebaikan. Aku dan Mona mengambil shaaf paling depan, tangis Mona semakin menjadi akupun merasakan kehilangan itu, apalagi ketika melihat jenazah ustadzah Ainun yang tersenyum tepat di depan kami.
“Mona, udahan yah.”Aku memcoba membujuk Mona walau air mataku pun tak bisa berhenti.
Mona tak bergeming, tangisnya semakin jadi. Setelah melakukan sholat jenazah, kamipun mengantarkan jenazah beliau ketempat persinggahan terakhirnya. Setelah pemakaman, walau tangis Mona belum berhenti kami tetap beranjak pulang menuju asrama. Tiba-tiba langkah kami terhenti.
“Mona...” Ustadzah May menghapiri kami.
“Iya ustadzah.” Mona menjawab lesu.
“Tadi malam ustadzah Ainun, sempat ngeprint surat buat kamu, katanya sih mau beliau kasih ketika perpulangan, nanti datang yah kekamar ustadzah”
“Iyah ustadzah !!??”
“Iya Mona.”
“Iya ustadzah nanti Mona kekamar ustadzah.”
Sore harinya kami berangkat menuju kamar ustadzah May. Ustadzah May memberikan kertas HVS berwarna kuning kepada Mona.
“Ustadzah kami boleh nanya?” Aku memulai.
“Iya kenapa Audy?”
“Sebelum ustadzah Ainun meninggal, ustadzah Ainun lagi ada masalah yah ?”
“Kenapa kok nanya begitu?”
“Ehmm, beberapa hari yang lalu kami lihat muka ustadzah Ainun sedikit muram.”
“Ehm, tiga hari yang lalu ustadzah Ainun bermimpi, beliau melihat kamu pergi dengan pakaian serba hitam sambil menangis sesugakan. Ustadzah Ainun takut terjadi apa-apa denganmu Mona.”
Aku dan Mona diam seribu bahasa, tak bergeming.
“Ustadzah Ainun, punya keinginan yang besar terhadap teman-temanmu yang nakal itu seperti kamu Audy, Fira, Wita, dan Giatri. Beliau sangat ingin merangkul mereka, menjadikan mereka anak-anak yang berprestasi.” Ustadzah May melanjutkan.
“Ya ustadzah, terimakasih kami pulang dulu yah ustadzah.”  Kamipun berpamitan.
Kami menyusuri jalan dengan membisu. Entah apa yang difikirkan Mona. Yang jelas aku sangat memikirkan apa yang barusan ustadzah May ceritakan kepada kami, tentang keinginan almarhumah. Sesampainya dikamar Mona, langsung membuka surat dari Almarhumah.
Assalamualaikum...
Mona, Mabruk sudah terpilih menjadi Miss Kampus tahun ini. Ustadzahpun ikut senang, maaf ustadzah tidak bisa ikut foto malam itu. Ustadzah malam itu kebetulan sakit perut. Jadi, ustadzah ga bisa foto dengan Mona.  Jadi anak yang rajin dalam mengerjakan kebaikan, jangan pernah bosan untuk berusaha menjadi anak yang baik. Di jaga yah hafalan suratnya, sering-sering di ulang. Jangan pernah goyah, untuk selalu berjuang menjadi yang terbaik. Ingat ! Pelaut yang hebat, tidak berlayar di laut yang tenang. Salam ustadzah yah buat Audy, Fira, Wita, dan Giatri. Bilang pesan ustadzah tadi yah.
Good luck!
Wassalamualakum.
Kepergian ustadzah Ainun bukanlah akhir dari segalanya. Hidup harus tetap berjalan, keadaan pasti berubah. Nasihat dari ustadzah Ainun harus dijaga. Untuk tetap tidak bosan berjuang menjadi yang terbaik. Seperti nasihat ibunda Pondok kami tercinta, SEBESAR KE INSYAFANMU, SEBESAR ITU PULA KEBERUNTUNGANMU. Kini ustadzah Ainun hanya bisa kita gambarkan sebagai bulan. Yang jauh, namun tetap ada walau terkadang ia tak tampak. Selamat jalan ustadzah Ainun, semoga surgalah tempatmu beristirahat dari kenakalan-kenakalan kami. Amin.
TAMAT
                                               
                                                            Nee

           

           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar